Potretkota.com - Pemerintah saat ini sedang berupaya untuk menyebarkan pembangunan infrastruktur dan ekonomi secara merata melalui Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, serta mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada April 2024, Presiden Joko Widodo baru saja memberikan persetujuan untuk penambahan 14 Proyek Strategis Nasional (PSN) baru, yang akan mulai direncanakan lebih lanjut tahun ini. Pengembangan 14 PSN baru tersebut dilakukan di sejumlah daerah yakni di Kepulauan Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Mencakup pengembangan di berbagai sektor, 14 PSN baru tersebut terdiri dari 8 Kawasan Industri, 2 Kawasan Pariwisata, 2 Jalan Tol, 1 Kawasan Pendidikan, Riset dan Teknologi, Kesehatan, serta 1 Proyek Migas Lepas Pantai. Salah satu PSN yang berada di Jawa Timur, tepatnya di Kota Surabaya akan bekerjasama dengan PT Granting Jaya yang berencana membangun Surabaya Waterfront Land (SWL).
Proyek yang direncanakan ini akan dibangun sepanjang pesisir pantai Surabaya, mencakup sebagian wilayah Kenjeran hingga Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya). Pembangunan PSN ini diproyeksikan tidak akan menggunakan dana APBN, melainkan akan sepenuhnya dilaksanakan dan dibiayai oleh pihak swasta, dengan tujuan untuk menarik investor swasta lainnya.
Surabaya Waterfront Land (SWL) akan dibangun sepanjang 7,3 km di tepi pesisir pantai, serta memerlukan proses reklamasi pantai atau pengurukan pantai seluas 1.084 Ha. Reklamasi pantai adalah proses pembuatan daratan baru dengan cara menguruk atau menguruk kembali wilayah perairan, seperti laut, teluk, atau sungai. Proses ini biasanya dilakukan untuk memperluas lahan daratan yang dapat digunakan untuk keperluan komersial, pemukiman, infrastruktur, atau tujuan lainnya.
Pada tanggal 2 Agustus 2024, beberapa nelayan dan masyarakat Surabaya melakukan aksi penolakan terhadap proyek Surabaya Waterfront Land (SWL). Aksi ini dilakukan karena Surabaya Waterfront Land (SWL) dinilai merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencaharian para nelayan Surabaya terkhusus nelayan tradisional. Proyek reklamasi ini tidak hanya melibatkan aspek ekonomi, tetapi juga memunculkan sejumlah pertanyaan mengenai etika, keadilan lingkungan, dan dampaknya terhadap komunitas lokal yang terdampak.
Melihat aksi yang dilakukan oleh para nelayan Surabaya, mahasiswa dari Gerakan Mahasiswa Indonesia Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya (GMNI FPIK UB) membuat aksi serupa yang dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2024 yang bertempat di Gerbang Veteran Universitas Brawijaya. Aksi tersebut dilakukan dihadapan mahasiswa FPIK UB dan para dosen beserta jajaran dekanat FPIK UB yang disinyalir membantu proses berjalannya rencana reklamasi Pantai Timur Surabaya.
“Dari sudut pandang etika, pertanyaan penting dari kami GMNI FPIK UB yang muncul adalah, apakah sah untuk mengorbankan ekosistem pesisir yang vital demi tujuan pembangunan ekonomi? Apakah kepentingan segelintir pihak yang diuntungkan oleh proyek ini dapat mengesampingkan hak-hak komunitas lokal yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir? Selain itu, apakah proses pengambilan keputusan yang melibatkan reklamasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak yang terdampak secara adil dan transparan?” ujar Lintang Gurat Jingga Komisaris GMNI FPIK UB dalam siaran persnya.
Mahasiswa yang akrab dengan panggilan Jingga ini menambahkan, dalam menjawab beberapa pertanyaan tersebut, perlu dilakukannya penelitian lebih mendalam mengenai penilaian tingkat keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan di kawasan tersebut, serta penelitian mengenai tata ruang yang sudah ada dan simulasi penataan ruang di kawasan yang terdampak.
“Tentunya aksi ini adalah permulaan dari apa yang akan kami lakukan kedepannya,” tambah Jingga.
“Kita adalah seorang mahasiswa Perikanan dan Ilmu Kelautan. Sewajarnya dan sepantasnya kita berpihak kepada indigeounus people yaitu masyarakat nelayan, karena intimidasi manusia terhadap alam sudah dimulai sejak manusia mengintimidasi manusia lainnya,” pungkas Jingga. (*/Hyu)