Potretkota.com – Setelah direlokasinya para pedagang korban kebakaran Pasar Turi dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke dalam gedung Pasar Turi Baru, rupanya pemindahan tersebut tak cukup membahagiakan bagi para pedagang, khususnya yang sudah lama berjualan. Masih ada banyak kendala yang berkenaan dengan sarana dan prasarana yang tidak sesuai ekspektasi dikeluhkan.
Seperti halnya Syukur, salah satu pengurus paguyuban pedagang di Tempat Penampungan Sementara (TPS) yang terdampak kebakaran Pasar Turi pada tahun 2007 silam, mengeluhkan persoalan tarif listrik dan sarana lain yang ada di Pasar Turi Baru. Syukur mengaku, sejauh ini pihaknya sudah mengikuti kemauan Pemerintah Kota Surabaya yang menyatakan bahwa Pasar Turi Baru telah siap ditempati.
Namun setelah semua berpindah ke dalam Pasar Turi Baru, kata Syukur, ternyata di dalam tidak seperti apa yang disampaikan oleh pengelola maupun Pemerintah Kota Surabaya. Paguyuban pedagang yang sedari awal bersikukuh menolak berpindah, menyatakan bahwa memang Pasar Turi Baru nyatanya belum siap 100 persen untuk ditempati oleh para pedagang dari TPS.
“Memang bener sudah siap, coba sampean lihat lantainya bersih, apa tuh rolling door sudah siap tapi ada beberapa rolling door (toko yang tidak terpasang). Coba lihat ini masih ada yang bolong-bolong, sampean lihat masih ada toko-toko yang belum ber rolling. Nah itu kan belum siap, ini masih di dalam, masih di dalam gedung,” kata Syukur secara khusus ke Potretkota.com, Rabu, (01/06/2022).
Selain beberapa toko yang tidak terpasang rolling door, Syukur juga mengeluhkan eskalator dan lift yang belum bisa digunakan. Ia mengungkapkan, pihak manajemen beralasan keterbatasan penggunaan listrik. Tidak hanya itu, Syukur juga mengeluhkan soal toilet dan musholla yang kumuh. Bahkan airnya pun tidak bersih, yang kemudian sekali lagi Syukur nyatakan bahwa sebenarnya Pasar Turi Baru belum siap 100 persen.
“Sampean lihat liftnya masih belum berjalan, sampean lihat kalau anda ke toilet, anda ke musholla di sana kumuh, di sana kumuh dan kotor, istilahnya banyak air-air yang masih belum bersih. Artinya apa, gedung ini belum siap 100 persen. Dan yang saya rasakan sekarang coba lihat AC nya, ini dikatakan mall, ini bukan mall,” terang Syukur.
Sejak berpindah ke dalam Pasar Turi Baru, para pedagang dari TPS dikenakan service charge mall. Tetapi, ungkap Syukur, pelayanan yang diterima seperti pelayanan pasar tradisional karena AC, lift, maupun eskalator belum menyala. Belum lagi pedagang diminta untuk membayar listrik sebesar Rp200 ribu per bulan dengan tanpa menggunakan meteran.
“Saya bilang dari Merauke sampai Maroko, ndak ada penarikan listriknya itu seperti di Pasar Turi. Mereka tidak pakai meteran, mereka menarik borongan. Kamu buka ndak buka 1 bulan Rp200 ribu. Saya protes keras dulu listrik ini, Rp200 ribu mahal, kenapa? Karena sejak dikasih tahu oleh pengelola hanya 110 watt per stand,” ungkapnya.
Para pedagang sendiri di Pasar Turi Baru, hanya buka dari jam 08.00 WIB pagi sampai dengan jam 17.00 WIB sore, yang artinya hanya beberapa jam saja pedagang menggunakan listrik. Menurut Syukur, seharusnya setiap toko diberikan meteran agar pedagang dapat mengontrol penggunaan listrik, dan bisa memperhitungkan sendiri biaya yang seharusnya digunakan untuk listrik.
”Setelah itu kan tidak berfungsi itu listrik, dan kami ditarik listrik flat borongan Rp200 ribu, itu terlalu mahal bagi kami. Makanya kami protes listrik ini harus dengan meteran, jadi pemakaiannya berapa, ketika kami tutup ya listrik ndak jalan, jadinya listrik jadi lebih murah kan,” beber Syukur seraya menyesalkan manajemen Pasar Turi Baru.
Selain penggunaan listrik yang terbatas dengan biaya besar yang harus dikeluarkan, pedagang juga mengeluhkan pengapnya pertokoan di dalam Pasar Turi Baru. Hal ini dikarenakan AC yang sejak para pedagang pindah dari TPS, tidak menyala sama sekali. Tarifnya setara mall, namun pelayanan tetap seperti pasar tradisional.
“Lah ini kan tidak, kamu pakai ndak pakai Rp200 ribu. Ini kan artinya apa? Ini kan memang tarifnya mall, biaya all service nya mall tapi pelayanannya sampean tahu sendiri kan tradisional, panas kan. Sampean pakai kaos saja masih merasa panas,” tukas Syukur. (Red)