Potretkota.com - Ilmu hukum tidak pernah berterus-terang pada dunia. Ia berlagak suci, murni, dan otentik, tetapi faktanya ia justru menjadi alat untuk mendefinisikan apa-apa saja di luarnya sebagai liyan. Ia dibangun demi kepentingan penguasa, dan menumbalkan yang liyan. Tujuan normatifnya memang terlihat megah: Keadilan. Namun justru melalui tujuan itulah ilmu hukum menjalankan peran delegitimasinya terhadap yang liyan. Keadilan dan kepastian hukum didefinisikan sedemikian rupa oleh konstruksi ilmu hukum, dan menciptakan standar-standar tertentu yang me-liyan-kan gagasan di luar konstruksi mainstream.
Liyan adalah bahasa konseptual yang dikembangkan oleh Edward Said dalam bukunya berjudul “Orientalisme”. Said adalah pemikir post-kolonial, yang mengkaji tentang bagaimana kerja ilmu pengetahuan dalam keseluruhan proyek kolonialisme. Ia mulai menggarap bukunya dengan menuliskan sebuah pertanyaan yang menarik, “Apakah definisi Timur dan Barat itu merupakan definisi geografis?” Lalu ia meneruskannya dengan kembali bertanya, “Jika faktanya Bumi itu bundar, mana yang disebut Timur dan mana yang disebut Barat?” Demikian satirnya pertanyaan dari Said ini, sehingga membuat pembacanya menyadari bahwa sesungguhnya terminologi Timur dan Barat itu adalah definisi ideologis.
Sepanjang proyek kolonialisme berlangsung, bangsa Eropa berlomba-lomba untuk mengirimkan para ilmuwannya ke negara-negara di luar Eropa. Para ilmuwan ini diberi tugas untuk mempelajari segala macam tradisi dan kebudayaan masyarakat di luar Eropa. Tujuannya hanya satu: guna mendefinisikan bangsa di luar Eropa sebagaimana yang diinginkan oleh Eropa (orientalized orient). Proyek inilah yang melahirkan definisi ideologis Barat dan Timur. Barat disebut sebagai The Occident, sedangkan Timur disebut sebagai Liyan. Melalui pendefinisian ini, bangsa Eropa mengukuhkan superioritasnya atas bangsa di luar Eropa. Hingga sampai pada suatu kesimpulan bahwa Bangsa Eropa (Barat/The Occident) adalah bangsa yang paling beradab, sedangkan lainnya (Timur/Liyan) adalah bangsa primitif.
Dengan alasan seperti itu, bangsa Eropa merasa perlu memberadabkan bangsa di luar Eropa (liyan). Proyek pemberadaban itu adalah sebuah kepalsuan, karena faktanya bangsa Eropa justru sedang menjalankan penjajahan dan eksploitasi terhadap yang Liyan. Begitulah kiranya legitimasi moral yang dibangun di atas semua penjajahan selama ini, penjajahan dengan selubung pemberadaban.
Kebenaran selalu butuh tumbal, begitu lah sejarah dunia. Demikian halnya kebenaran yang dikonstruksi oleh ilmu pengetahuan. Ia selalu menumbalkan yang Liyan, menempatkan diri sebagai pusat (center) kebenaran, dan memposisikan yang Liyan di wilayah peripheral. Seperti yang pernah disampaikan oleh Foucault dalam bukunya “The Order of Things”, pengetahuan mengarahkan manusia untuk menentukan: “Apa yang harus dipikirkan dan apa yang tidak harus dipikirkan”, serta “Apa yang harus diingat dan apa yang harus dilupakan.” Pengetahuan yang sungguh diskriminatif.
Nalar Ilmu Hukum, Nalar Yang Diskriminatif
Nalar yang dibangun oleh ilmu hukum pun tidak jauh berbeda dengan semangat kolonialisme. Ia memiliki peran untuk menumbalkan yang Liyan, dan ikut menyingkirkannya ke wilayah peripheral. Bahkan, dasar bangunan ilmu hukum yang diskriminatif telah dibangun sejak zaman Yunani Kuno.
Socrates misalnya. Pertentangan antara dirinya dengan kaum sofis adalah contoh yang menarik untuk dicermati. Oleh sejarah ilmu, kaum sofis ditampilkan sebagai kaum antagonis. Sedang Socrates adalah pahlawan. Mari kita cermati nalar dari pertentangan keduanya. Hal utama yang selalu dipertentangkan oleh keduanya adalah soal “Kebenaran”.
Socrates memandang bahwa Kebenaran Objektif itu ada. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran universal. Suatu kebenaran yang tidak bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Socrates percaya, penggunaan metode dialektika adalah cara untuk mencapai kebenaran universal. Contohnya ketika ia ingin menemukan makna adil, dia bertanya kepada prajurit, penguasa, pedagang, dan guru. Dari penjelasan mereka, Socrates menarik benang merah tentang keadilan yang bersifat universal. Namun, benang merah itu hanya menghasilkan jawaban pertama (hipotesis pertama). Jika hipotesis pertama itu dianggapnya mustahil, maka akan diganti dengan hipotesis lainnya. Begitu seterusnya, hingga terkadang metode itu menghasilkan sebuah kebingungan (aporia), atau sebaliknya terkadang menghasilkan sebuah definisi yang dianggapnya berguna.
Berkebalikan dengan Socrates, Kaum Sofis justru percaya bahwa kebenaran itu bersifat relatif. Mereka menolak ide mengenai kebenaran obyektif, pun demikian dengan penolakannya terhadap konsep keadilan universal. Keadilan relatif tersebut bergantung pada saya (individu) atau kita (kelompok). Sayangnya oleh sejarah ilmu, kaum sofis selalu ditampilkan sebagai tokoh antagonis, dan Socrates adalah protagonisnya. Efeknya, gagasan kaum sofis (Yang Liyan) hanya ditampilkan dalam rangka mengokohkan gagasan Socrates (Yang Benar). Lalu sejarah pun mencatat gagasan Socrates sebagai gagasan yang mulia, dan patut diagung-agungkan hingga sekarang.
Mari kita lihat, betapa jahatnya pengaruh Socrates terhadap perkembangan ilmu hukum sekarang ini. Pertama, akibat konsep “Universalitas” itu, seluruh produk ilmu hukum saat ini harus lah bersifat universal, dan obyektif. Parahnya, nalar pengetahuan yang dibangun oleh Socrates itu dilengkapi lebih lanjut oleh “Prosedur Ilmu” yang digagas kelompok positivise. Sederhananya, untuk mencapai yang universal, prosedur ilmu mensyaratkan agar seluruh produk hukum harus berbentuk kodifikasi (hukum tertulis). Lain itu, bukan hukum.
Siapa-Siapa Yang Ditumbalkan
Korban dari bangunan ilmu hukum adalah Hukum Adat yang sifatnya relative, dan tidak tertulis. Bagi sebagian besar praktik hukum di dunia, Hukum Adat hanya hiasan semata. Hukum Adat ditempatkan pada posisi “Ini hal yang unik. Sebuah fosil purbakala yang dapat dikaji, dan diteliti oleh para sarjana hukum”. Cukup. Hanya sampai disitu peran hukum adat. Lebihnya, hukum adat tidak pernah dihargai, dan selalu kalah ketika dipertentangkan dengan hukum positif.
Ada banyak kisah nyata yang dapat dijadikan contoh. Semisal bagaimana masyarakat adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah yang hingga saat ini harus berjuang mati-matian menghadapi salah satu Badan Usaha Milih Negara (BUMN). Bagi masyarakat Sedulur Sikep, Pegunungan Kendeng adalah Ibu mereka. Hukum Adat yang mereka percayai, pegunungan kendeng itu harus dirawat, dijaga dan dilindungi selayaknya perlakuan anak yang berbakti kepada Ibu nya sendiri. Namun tidak bagi hukum positif. Pegunungan Kendeng dilabel sebagai komoditas. Di dalam Hukum Pertambangan, Pegunungan Kendeng adalah Wilayah Pertambangan. Siapapun asal memiliki izin legal, dapat mengeruk hasil tambang di Pegunungan Kendeng. Dan lagi-lagi Hukum Positif lah yang menjadi pemenang. Dan banyak contoh kasus lain yang dapat digunakan untuk melegitimasi tesis ini.
Hukum positif adalah hukum yang bersifat administratif dan formil (prosedural di atas segalanya). Segala bentuk nilai yang sifatnya tidak administratif dan tidak formil dianggap sebagai bukan hukum. Itulah mengapa keadilan tidak pernah ditemukan ditemukan di dalam hukum positif. Karena memang ilmu hukum tidak sekalipun mengarahkan dirinya pada hal-hal yang bersifat substantif. Ilmu hukum terlalu sibuk dengan prosedur dan hal-hal administratif. Dengan demikian, maka keadilan obyektif yang ingin dicapai oleh ilmu hukum bukan keadilan substansial, tetapi keadilan yang prosedural dan administratif. Itu artinya, keadilan procedural dan administrative adalah keadilan universal itu sendiri.
Keadilan substantif yang selalu menjadi cita-cita ilmu hukum selama ini hanyalah mitos belaka. Sebagai mitos. Ia harus di-ada-kan sebagai pemberi harapan palsu. Dan memang fungsinya sebagai mitos adalah untuk menjaga harapan palsu itu. Sayangnya, penulis sudah sampai pada titik tidak lagi percaya pada pemberi harapan palsu. Dan berhenti berharap pada keadilan. Karena keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri. (*)