Potretkota.com – Orang Asmat jago mengukir kayu. begitulah saudara-saudara kita di ujung Timur Indonesia ini dikenal. Asmat dan karya ukirannya memang luar biasa. Ukiran dan orang Asmat sudah menjadi bagian dari ritus spiritual, tak bisa terlepas dari kebiasaan sehari-hari. Sekian dekade pula, orang Asmat dikenal sebagai salah satu suku di Papua yang hidup di atas rawa-rawa dan sungai di sisi Papua bagian Barat Daya, dekat dengan laut Lautan Arafura.
Jauh sejak sebelum Indonesia merdeka, di zaman berkuasanya Hindia Belanda berbagai macam ekspedisi dilakukan oleh kapten kapal, sampai antropolog untuk mencapai wilayah tinggal orang-orang Asmat. Beranjak ke era Orde Baru, Asmat makin dikenal luas. Budaya dan kehidupan orang Asmat yang bertahan hidup di atas rawa, sungai dan hutan-hutan lebat, punya cerita uniknya sendiri.
Namun, beberapa pekan terakhir, nama Asmat kembali mencuat. Tapi bukan cerita baik tentang budaya dan kehidupan orang Asmat yang terdengar sampai ke ibu kota. Kali ini datang kabar buruk dari Asmat.
Asmat sedang dirundung duka. Krisis kesehatan terjadi ditandai dengan merebaknya campak juga gizi buruk akut. Krisis dialami puluhan bahkan ratusan orang Asmat. Lebih miris lagi, campak dan gizi buruk sampai menimbulkan puluhan anak meninggal dunia.
Dari Data yang kami dapat, Januari 2018 sedikitnya ada 393 orang Asmat yang menjalani rawat jalan. Sementara itu, 175 lainnya diharuskan rawat inap untuk perawatan intensif, karena campak dan gizi buruk. Masalah pelik dan pilu ini pun ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh pemerintah Indonesia.
Mengapa gizi buruk di Asmat bisa merebak?
Pertanyaan besar pun muncul. Hal apa sebenarnya yang menjadi pemicu kasus gizi buruk dan krisis campak bisa bermula?
Melihat Asmat dari dekat, sudah memasuki pekan kedua sejak pertama kali tim Emergency Response ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang terdiri dari dokter dan paramedis bertugas di Asmat. Beberapa distrik dijelajahi hanya bisa menggunakan perahu bermesin (speedboat). Rawa-rawa dan sungai memang menjadi topografi utama wilayah Asmat, imbasnya akses melaju dari satu distrik ke distrik lain, dari satu ke kampung lain menjadi sangat sulit.
“Hanya papan-papan panjang yang disusun di atas rawa yang menjadi penghubung tiap-tiap rumah di 23 distrik di Asmat. Hanya dengan alam, warga Asmat menggantungkan hidupnya. Mulai dari air sampai makanan,” ujar dr. Riedha, salah satu dokter dari Tim Emergency Response ACT.
Dari ibu kota Kabupaten di Distrik Agats, perjalanan butuh berjam-jam lamanya untuk mencapai distrik-distrik terdekat d sekitar Agats. Akses yang begitu sulit dan mahal ini pun membuat harga-harga melambung.
“Beras, telur, sayuran, dan sembako hanya datang ketika kapal dari Timika atau Merauke datang merapat di Agats. Kalau tak ada kapal karena cuaca buruk, mungkin harga sayur bisa menembus puluhan bahkan ratusan ribu Rupiah saking langkanya,” tambah dr. Riedha.
Nurjannatunaim, paramedis ACT pun menuturkan, urusan gizi belum menjadi perhatian utama orang-orang Asmat. “Ikan, udang, dan kepiting sangat melimpah di sini. Tapi pemenuhan gizi terutama untuk anak-anak seringkali belum tuntas tersampaikan. Imbasnya, kami menemukan di depan mata kami sendiri bahwa ikan segar hasil tangkapan warga malah ditukar dengan mi instan yang baru turun dari kapal,” kisah Nur.
Belum lagi tentang air bersih, di puluhan distrik di Asmat, air bersih sangat berharga. Sebabnya, kampung-kampung di Asmat kebanyakan berada dalam lokasi yang sangat-sangat terpencil. Rawa dan sungai di dataran rendah – dekat dengan laut – mengelilingi kampung-kampung di wilayah ini.
“Hanya hujan sumber air bersih utama orang Asmat. Air hujan menjadi tumpuan. Kalau musim kemarau datang air sungai terpaksa mereka minum. Kalau sekali waktu di puncak kemarau sungai juga kering, hanya air sagu yang bisa mereka masak,” tutur Nur.
Lebih sepekan berada di Asmat, Tim Emergency Response ACT menyimpulkan, ironi sedang benar-benar terjadi di tanah Asmat. Ketika sumber daya alam sangat kaya, tak menjamin tersedianya sumber gizi.
“Harga kebutuhan pokok masih melambung tinggi karena akses yang sulit. Penyuluhan tentang gizi tak tuntas tersampaikan. Masih banyak sekali pekerjaan rumah untuk membantu memulihkan Asmat dari kiris gizi buruk,” tutur Nur.
Sementara itu, di waktu yang bersamaan dengan aksi Emergency Response di Asmat, ACT sedang menyiapkan keberangkatan Kapal Kemanusiaan (KK) Papua. Insan Nurrohman, Vice President ACT memaparkan, rencananya KK Papua membawa 100 ton bantuan pangan dan medis.
“Tidak hanya itu, KK Papua juga akan membawa seratus orang relawan. Termasuk juga tenaga paramedis, ahli gizi, dan dokter. Insya Allah, tim medis akan bergerak menuju Agats dengan kapal terpisah,” pungkas Insan. (*/Tio)