Potretkota.com - Muhammad Fauzi Mantan Direktur Utama pada PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Hambangun Artha Selaras salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Kabupaten Blitar jadi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korurpsi (Tipikor) Surabaya.
Dalam persidangan, Hatarto Pakpahan SH MH CLA salah satu kuasa hukum Muhammad Fauzi mengajukan ahli pidana Dr Setiyo SH MH dan ahli perdata Dr Ali Imron SH MS, keduanya dosen dari universitas swasta di Malang.
Menurut Setiyo, kredit macet bukan tindak pidana melainkan perdata. “Belum ada tindak pidana, karena itu masuk hukum perjanjian. Sistem perjanjian mengatur secara lengkap. Kalau ada yang kredit macet bisa menjual jaminan,” jelasnya, Selasa (30/5/2023) kemarin.
Senada, Ali Imron menyebut dari segi perdata, telah diatur dalam Pasal 1320 juga Pasal 1338 ayat (1). “Disitu diatur sah atau tidaknya sebuah perjanjian,” tambahnya.
Sementara, Hatarto Pakpahan sependapat adanya ultimum remedium. “Artinya kalau ada sengketa keperdataan itu, sanksi pidana baru boleh diterapkan,” jelasnya.
Hatarto Pakpahan mengungkapkan, Muhammad Fauzi sudah menjabat sejak 2007 sampai 2021. Selama menjabat, kliennya sudah banyak memberikan kontribusi, termasuk membeli kantor di Tulungagung. “Pada saat OJK melakukan audit saat pandemi kemarin, Oktober 2021-2022, tingkat angka kredit macet semakin meningkat. Dari situ ditemukan pelanggaran adminitrasi,” urainya.
Pelanggaran itu, oleh Jaksa kemudian ditindaklanjuti dan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. “Padahal sebelumnya untung, bisa menambah PAD. Ini kerugian belum pasti ditarik kedalam korupsi,” imbuh Hatarto Pakpahan, kerugian belum pasti disebut karena banyak nasabah yang membayar kredit tersebut dan jamina belum dilelang.
Bagi Hatarto Pakpahan, perhitungan kerugian negara oleh Kejaksaan berdasar temuan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) senilai Rp6 miliar lebih, salah kaprah. “Padahal yang berwenang melakukan kerugian negara itu BPK, BPKP juga boleh. Tidak ada kewenangan Jaksa menghitung kerugian negara,” tegasnya. (Hyu)