Potretkota.com - Jika ditanya satu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari, maka jawaban yang paling tepat adalah Perjanjian. Bayangkan saja, mulai dari belanja di pasar, membeli makanan atau minuman, membeli bahan bakar untuk kendaraan, menggunakan jasa laundry untuk mencuci pakaian, sampai dengan menggunakan jasa asisten rumah tangga, itu semua merupakan bentuk Perjanjian yang paling sederhana dan sering kita temui.
Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata diartikan sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Agar perbuatan yang demikian dapat dikatakah sah sebagai suatu Perjanjian, maka ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3) suatu hal tertentu; 4) suatu sebab yang halal.
Poin nomor 1 dan 2 disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan subjek Perjanjian, dan bilamana syarat subjektif tersebut tidak terpenuhi maka Perjanjian yang demikian dapat dibatalkan. Sementara poin nomor 3 dan 4 disebut sebagai syarat objektif karena berkaitan dengan objek Perjanjian, apabila syarat objektif tersebut dilanggar maka Perjanjian menjadi batal demi hukum (dianggap tidak pernah ada).
Asser-Rutten mengatakan, bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Hal ini sejalan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang pada pokoknya mengatur bahwa Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan penuh itikad baik.
Dalam membuat suatu Perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk memilih dengan siapa ia mengadakan Perjanjian, apa objeknya, serta bagaimana isi/klausul dalam Perjanjian tersebut. Selain itu para pihak juga berhak untuk memilih bentuk dari Perjanjian tersebut, apakah dilakukan secara tertulis atau tidak tertulis, juga apakah dibuat dalam bentuk akta notariil ataupun akta di bawah tangan. Hal-hal yang demikian oleh para ahli disebut sebagai Asas Kebebasan Berkontrak.
Sekalipun para pihak diberikan kebebasan untuk membuat perjanjian, namun apabila terdapat syarat-syarat tertentu yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, maka para pihak juga harus menaati hal tersebut.
Sebagai contoh, Pasal 57 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sebagaimana yang diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang pada pokoknya mengatur bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) haruslah dibuat secara tertulis. Atau misalnya Pasal 12 ayat (3) Permendagri No 1 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Aset Desa, yang pada pokoknya menentukan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian sewa aset desa, salah satunya terkait tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa.
Sebelum kita menjalin kerjasama yang kemudian dilanjutkan dengan membuat suatu Perjanjian, ada beberapa hal yang kiranya perlu dijadikan bahan pertimbanganagar jangan sampai kerjasama yang kita jalin tersebut justru menimbulkan permasalahan ataupun kerugian di kemudian hari. Langkah-langkah preventif tersebut dapat dilakukan dengan cara menilai partner kerjasama dengan menggunakan prinsip 5C (character, capacity, capital, condition, collateral).
Namun apabila ternyata di kemudian hari terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak sebagaimana yang telah disepakati dalam Perjanjian, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan keperdataan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman Tergugat atau Pengadilan Negeri atau Lembaga terkait yang disepakati dalam Perjanjian.
Akan tetapi jika perjanjian yang telah dijalin tersebut timbul karena adanya suatu rangkaian kebohongan sehingga mengakibatkan salah satu pihak memberi utang, menghapuskan piutang, ataupun menyerahkan barang sesuatu kepada pihak yang lainnya, maka hal yang demikian dapat dikategorikan sebagai dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP, dan oleh karenanya pihak yang merasa dirugikan dapat membuat Laporan Polisi atau Pengaduan ke kantor kepolisian setempat dengan menyertakan bukti-bukti pendukung. (*)