Potretkota.com - Maraknya kasus mengenai penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court) seakan mencederai negara itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan penghinaan terhadap pengadilan atau dikenal dengan Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim atau disingkat dengan PMKH.
Dalam peraturan Komisi Yudisial RI No 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim pada Pasal 1 ayat 2 disebutkan mengenai pengertian PMKH yaitu “perbuatan orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses pengadilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan.” Tak hanya itu dalam Pasal 207, 217, 224 KUHP dan Pasal 218 KUHAP telah diatur hukuman bagi pelaku PMKH. Maka itu, pengadilan sebagai tempat untuk mencari keadilan memang sudah seharusnya dihormati.
Faktor yang melatar belakangi terjadinya PMKH di pengadilan pun sangat klise lagi-lagi dikarenakan kurang puasnya terhadap putusan pengadilan oleh Majelis Hakim. Akibat dari ketidakpuasan tersebut, seringkali para pencari keadilan berbuat hal yang melanggar etika dalam persidangan. Salah satu kejadian yang memperlihatkan tindak PMKH dari peristiwa yang terjadi pada tahun 2021, dimana terdapat seorang istri terdakwa yang mengamuk ditengah persidangan tepatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena tidak terima suaminya dituntut satu tahun penjara dalam kasus jual beli alat berat tambang emas di Nabire, Papua.
Di tahun yang sama, 2021, terjadi peristiwa serupa yang terjadi di Pengadilan Negeri Banyuwangi, yaitu mengenai kasus penyebaran berita bohong yang menjadikan seorang aktivis antimasker sebagai terdakwa, yaitu Muhammad Yunus Ahyudi. Majelis hakim menjatuhkan vonis tiga tahun hukuman penjara dan terdakwa tidak terima akan vonis yang di jatuhkan kepadanya, karena tidak terima terhadap vonis tersebut, ia pun nekat menyerang Majelis Hakim.
Tak hanya terdakwa, keluarga terdakwa, ataupun korban yang bertindak melanggar PMKH, tetapi seorang pengacara sebagai bagian dari penegak hukum pun bisa bertindak hal yang sudah sepantasnya tak ia lakukan. Peristiwa ini terjadi di tahun 2019 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana seorang pengacara dengan berani berdiri dari kursinya kemudian melangkah ke depan menghampiri majelis hakim dan memukul Hakim yang saat itu masih membacakan amar putusan perkara perdata. Tentunya hal tersebut dipastikan telah mencederai persidangan yang ada. Sikap-sikap demikian itu tentunya memberikan catatan-catatan buruk bagi potret peradilan di Indonesia.
Prof. Jimly Asshiddiqie (2014) dalam bukunya yang berjudul Peradilan Etik dan Etika Konstitusi menilai, jika yang bersangkutan merasa tidak puas dengan sesuatu produk keputusan hukum, maka hukum sendiri menyediakan cara untuk melawannya, bukan melalui jalan atau main hakim sendiri, melaikan cara yang disebut sebagai upaya hukum yang resmi berdasarkan ketentuan undang-undang. Hal-hal yang mempengaruhi ketidakpuasaan tersebut seharusnya dapat diidentifikasi kemudian mengambil upaya hukum lain. Misalkan saja disinyalir putusan hakim terdapat unsur penyuapan dan terdapat bukti yang menyertai dapat dilaporkan ke Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung ataupun Komisi Yudisial (KY).
PMKH bukan sekedar mengenai pencideraan yang dialami oleh majelis hakin tetapi juga mengenai etika dalam pesidangan. Pada tahun 2014, Nikita Mirzani tampil nyeleneh saat menghadiri sidang cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dikesempatan itu, Nikita, tampil berani dengan mengenakan baju putih menerawang yang memperlihatkan bra-nya dan juga mengenakan celana jins robek di bagian paha. Meskipun tidak ada peraturan tertulis yang mewajibkan para tamu untuk berpakaian di ruang persidangan, namun terdapat peraturan yang tak tertulis secara tersirat diberlakukan di ruang persidangan.
Persoalan lain mengenai pentingnya etika di dalam persidangan, tidak hanya harus diterapkan oleh masyarakat saja tetapi harusnya juga dari pihak pengadilan seperti majelis hakim dan panitera. Tak sedikit kita jumpai saat persidangan terdapat majelis hakim atau panitera yang tertidur saat sidang berlangsung, tentunya hal ini juga menjadi koreksi pada PMKH. Etika para pihak pengadilan ini telah diatur dalam kode etik. Setiap profesi memiliki kode etiknya masing-masing termasuk hakim. Kode etik dan pedoman perilaku hakim telah diputuskan bersama oleh Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dengan tujuan untuk menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Ketika etika benar-benar terimplementasi dengan baik maka dapat dipastikan bahwa PMKH tidak lagi terjadi. Merujuk pada PERMA RI No. 5 Tahun 2020 yang secara khusus mengatur tentang etika dalam persidangan, peraturan dalam pasal tersebut sangat sederhana dalam artian siapa saja bisa memenuhi etika tersebut. Etika dalam peradilan merupakan suatu keharusan untuk semua pihak baik dari pihak pengadilan maupun pihak masyarakat.
Disinilah urgensi keduanya, antara pihak masyarakat dan juga pihak pengadilan sama-sama memiliki peran nyata. Peran masyarakat dalam peradilan adalah dengan beretika baik dengan penuh kesadaran. Dan peran pihak pengadilan adalah menerapkan etika pribadi dengan baik dan juga menerapkan kode etik yang telah diatur. Implementasi keduanya sama-sama memiliki pengaruh besar bagi negara, terlebih lagi dalam hal mewujudkan cita-cita bangsa yang bermoralitas. (Nurita Sari, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UINSA Surabaya)