Potretkota.com - "Jajah desa milangkori" adalah peribahasa dalam bahasa Jawa yang berarti menjelajahi desa untuk mencari ilmu atau pengalaman hidup. "Njajah desa" berarti menjelajahi desa, sedangkan "milangkori" berarti menghitung pintu. Makna dari peribahasa ini adalah melakukan perjalanan ke berbagai wilayah untuk mengenal kehidupan dan memahami watak perilaku penduduknya. Selain itu, "njajah desa milangkori". Jajah desa milang kori, adalah peribahasa Jawa dari kata jajah: keliling; desa: desa; milang: menghitung, dan kori: pintu. Jika diterjemahkan arti harafiahnya keliling desa menghitung pintu. Maksudnya yang tepat, keliling desa mencari pengalaman, pengetahuan, dan nafkah.
Pameran seni rupa bertema "Jajah Desa Milangkori" oleh komunitas Sawunggaling-Surabaya yang diselenggarakan di Rumah Seni Lontar, Desa Kebon Dalem, Mojosari, Mojokerto, pada tanggal 26-30 Oktober 2024, berfokus pada gagasan eksplorasi desa sebagai sebuah petualangan. Tema ini mengundang pengunjung untuk menjelajah dan memahami kehidupan desa dengan lebih mendalam, bukan hanya sebagai wisatawan yang sekadar menikmati pemandangan, tetapi juga sebagai peneliti dan pengamat yang ingin menangkap karakter, sifat, dan adat masyarakat setempat. Eksplorasi tersebut lebih diarahkan pada pengetahuan yang lebih intim tentang desa, melibatkan interaksi dengan penduduk lokal dan pengamatan yang mendalam terhadap kebiasaan, budaya, dan dinamika sosial mereka.
Latar Belakang Pameran
Pameran ini juga berfungsi sebagai wadah untuk mempertemukan seni rupa kontemporer dengan kehidupan sehari-hari di pedesaan. Pengunjung akan diajak untuk melihat bagaimana desa dan penghuninya dijadikan subjek atau inspirasi dari karya seni yang dipamerkan. Rumah Seni Lontar, tempat berlangsungnya pameran, memiliki reputasi sebagai ruang yang mendorong eksplorasi seni dengan pendekatan yang interaktif dan inovatif. Berbagai medium seni rupa akan ditampilkan, seperti lukisan, instalasi, fotografi, dan seni media baru, yang semua berfokus pada tema "petualangan" ini.
Selain karya seni, pameran ini memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara seniman dan penduduk desa. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk mempelajari lebih jauh sifat asli masyarakat desa Kebon Dalem, mulai dari gaya hidup mereka yang sederhana hingga nilai-nilai yang mereka pegang. Pengunjung dapat terlibat dalam dialog dengan masyarakat setempat, mencatat perbedaan perspektif antara desa dan kota, serta mengalami kehidupan desa dengan cara yang lebih otentik dan reflektif. Secara keseluruhan, pameran ini tidak hanya memberikan pengalaman estetika, tetapi juga mendalami aspek sosiokultural dari kehidupan pedesaan. Pengunjung akan disajikan berbagai interpretasi artistik dari seniman tentang makna petualangan di desa, yang pada akhirnya mengarah pada refleksi lebih luas mengenai modernitas dan akar tradisi dalam masyarakat Jawa.
Pameran yang berlangsung di Desa Kebon Dalem, Mojosari, Mojokerto, merupakan bagian dari serangkaian acara budaya dan seni. Lokasi ini memang dikenal aktif dalam kegiatan seni dan budaya, termasuk kegiatan edukatif dan pameran lokal yang sering menampilkan berbagai aspek budaya tradisional dan produk budaya daerah. Desa Kebon Dalem juga sebelumnya pernah terlibat dalam acara berbagai kreasi seni dari masyarakat sekitar, mengingat tradisi Mojosari dan Mojokerto yang kaya dengan seni dan budaya. Acara tersebut juga dapat menjadi bagian dari upaya pemerintah lokal untuk mengembangkan potensi kebudayaan desa.
Sawunggaling
Sawunggaling adalah nama legendaris yang sangat terkenal di Surabaya, terutama dalam kisah-kisah sejarah dan cerita rakyat Jawa Timur. Ia diyakini sebagai tokoh heroik yang memiliki hubungan erat dengan perjuangan melawan penjajahan Belanda pada abad ke-18. Secara khusus, Sawunggaling sering dianggap sebagai simbol keberanian dan kecerdasan, yang mewakili perlawanan rakyat terhadap kolonialisme.
Dalam beberapa versi cerita rakyat, Sawunggaling digambarkan sebagai anak dari Raden Panji Jayengrono, seorang bangsawan keturunan Kerajaan Mataram, dan Nyai Andongsari, seorang perempuan desa yang kuat dan bijaksana. Nama "Sawunggaling" sendiri berasal dari kombinasi kata "sawung," yang berarti ayam jantan, dan "galing," yang dapat diartikan sebagai kuat atau perkasa, melambangkan keberanian dan kekuatan dalam menghadapi lawan. Ia tumbuh besar dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepahlawanan, dan kisahnya menjadi inspirasi bagi banyak orang di Jawa Timur.
Sawunggaling dikenal sebagai tokoh yang berperan penting dalam melawan penjajahan Belanda. Dalam beberapa versi legenda, ia dikatakan menjadi pemimpin perlawanan rakyat Surabaya yang gigih melawan kolonial. Meskipun banyak dari ceritanya bersifat mitos dan rakyat, kisah ini mencerminkan semangat perlawanan dan keberanian yang melekat dalam masyarakat Surabaya. Sebagai sosok yang cerdas dan berani, ia tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga strategi dan diplomasi untuk menghadapi musuh. Sawunggaling bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi dalam berbagai karya seni dan budaya di Surabaya dan sekitarnya. Nama Sawunggaling diabadikan dalam bentuk monumen, nama jalan, dan institusi pendidikan di Surabaya. Kisah-kisahnya juga sering diangkat dalam pertunjukan wayang dan drama tradisional, di mana ia digambarkan sebagai simbol keteguhan dan keberanian.
Di dunia sastra dan teater, legenda Sawunggaling juga diadaptasi menjadi cerita rakyat yang mengajarkan tentang pentingnya nilai-nilai keberanian, keadilan, dan cinta terhadap tanah air. Banyak dari cerita ini juga menyisipkan pesan moral tentang perlunya kepemimpinan yang bijaksana dan keadilan sosial. Sawunggaling adalah tokoh legendaris yang memiliki peran penting dalam sejarah dan budaya Jawa Timur, terutama Surabaya. Ia bukan hanya dikenang sebagai pahlawan perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan dan identitas lokal. Melalui kisahnya, masyarakat Surabaya menghidupkan kembali semangat juang dan nasionalisme, menjadikannya inspirasi yang terus relevan hingga hari ini.
Rumah Seni Lontar
Saya mencoba menafsir bagaimana rumah seni ini dinamai “Rumah Seni Lontar”, lontar adalah daun dari pohon lontar/ siwalan (Borassus flabellifer), yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya penulisan di Asia Tenggara, khususnya di Jawa dan Bali. Penggunaan daun lontar sebagai media tulis memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak zaman kuno. Tradisi penulisan di atas lontar merupakan salah satu bentuk preservasi pengetahuan dan budaya yang sangat berharga, baik dalam konteks literatur, agama, maupun pendidikan. Di Jawa dan Bali, lontar telah digunakan selama berabad-abad sebagai media untuk menulis teks-teks penting, mulai dari ajaran agama Hindu-Buddha, karya sastra klasik, hingga catatan sejarah dan pengobatan tradisional. Untuk menulis di atas daun lontar, para penulis menggunakan alat yang disebut "pisau pangutik," semacam paku kecil yang digunakan untuk menggoreskan huruf-huruf pada permukaan daun. Huruf yang tergores kemudian diolesi tinta alami untuk membuat tulisan lebih terlihat jelas.
Setiap helai lontar diproses terlebih dahulu dengan mengeringkan daun, meluruskan, dan memotongnya menjadi lembaran-lembaran tipis. Lontar memiliki daya tahan yang cukup lama, dan jika disimpan dengan baik, tulisan di atas lontar bisa bertahan hingga ratusan tahun. Dalam tradisi Jawa dan Bali, lontar melambangkan lebih dari sekadar media penulisan. Daun ini sering disimbolkan sebagai representasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebijaksanaan. Lontar adalah simbol literasi dan warisan intelektual, karena banyak teks-teks penting dalam bahasa Kawi dan Sanskerta yang dituliskan di atas lontar, menjadikannya sebagai penyimpan utama pengetahuan tradisional pada zaman dahulu.
Di Bali, misalnya, lontar sering digunakan untuk menuliskan karya sastra klasik seperti "Kakawin" dan "Tutur," serta teks-teks keagamaan yang digunakan dalam ritual Hindu. Teks yang tertulis di atas lontar ini sering diperlakukan dengan sangat sakral dan dijaga sebagai bagian dari warisan spiritual yang penting. Di Bali, tradisi penulisan lontar tetap hidup hingga hari ini, dan banyak teks lontar yang masih disalin dan dibaca dalam konteks keagamaan maupun pendidikan. Proses pembuatan dan penulisan lontar bahkan diajarkan di beberapa lembaga budaya dan sekolah-sekolah di Bali, sebagai upaya untuk melestarikan warisan ini. Selain itu, lontar juga digunakan dalam berbagai upacara adat dan dianggap sebagai objek suci yang harus dihormati.
Teks-teks lontar yang ada mencakup berbagai macam tema, seperti mitologi, tata cara ritual keagamaan, ramalan (astrologi tradisional), hingga pengobatan tradisional. Beberapa lontar yang terkenal antara lain Usada, yang berisi panduan pengobatan tradisional, dan Kanda Pat, yang menguraikan filosofi hidup dan hubungan antara manusia dan alam semesta. Meski teknologi modern telah menggantikan lontar sebagai media utama penulisan, tradisi ini masih dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya.
Di beberapa tempat di Indonesia, usaha pelestarian lontar terus dilakukan melalui digitalisasi teks lontar untuk memastikan agar isi teks tetap terjaga dari kerusakan akibat usia. Selain itu, museum dan perpustakaan di Bali juga menyimpan koleksi lontar yang luas, yang terus dikaji dan dipelajari oleh para sarjana dan pelajar.
Berkaitan dengan Rumah Seni Lontar bukan hanya simbol pendidikan dan literasi, tetapi juga simbol dari ketahanan budaya dan kontinuitas tradisi. Lontar menghubungkan generasi masa lalu dengan masa kini, menyediakan jalan untuk memahami warisan spiritual dan intelektual yang telah diturunkan selama berabad-abad. (Hari Prajitno, M.Sn, Perupa dan penulis seni rupa)