Potretkota.com - Lima kali mendatangi Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, warga Bulak Banteng Bandarejo masih belum mendapatkan titik temu terkait konflik lahan yang ditempatinya dengan Lantamal V - TNI AL.
Perwakilan dari warga Bulak Banteng Bandarejo itu minta agar kepemilikan lahan yang ditempatinya, RT 1, 2, dan 3 mendapat kejelasan. Karena, warga sudah mengadukan hal tersebut sampai ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Namun, hingga kini belum ada kepastian terkait apakah kampung Bandarejo itu memang merupakan tanah Lantamal V atau lahan warga. Alasannya, baik warga maupun pihak Angkatan Laut punya argumentasi dan juga punya bukti masing-masing. Bahwa itu, merupakan lahan yang diakui oleh kedua belah pihak.
Nelson salah satu warga Bulak Banteng Bandarejo mengatakan, aparatur penyelenggara negara menyelesaikan konflik lahan yang sejak 2007 terjadi antara pihak warga Bulak Banteng Bandarejo dengan Lantamal V Angkatan Laut. "Intinya masyarakat minta aparat penyelenggara negara menyepakati," katana di ruang Komisi A, Senin (19/8/2019).
Tidak hanya itu, perwakilan warga tersebut menyampaikan, bahwa masyarakat ingin menyelesaikan secara kekeluargaan dengan pihak akngatan laut. Karena, menurutnya dari Sabang hingga Merauke, semua itu merupakan tanah milik negara. Dan, itu yang memang tercantum dalam UUD 1945.
Namun, persoalannya kata Nelson, siapa yang berhak menempati. Karena, dari tahun 1932 warga Bulak Banteng Bandarejo sudah menempatinya. Sedangkan, Angkatan Laut belum memiliki hak untuk merelokasi tempat tersebut. "Kita bicara yang benar. Dari Sabang sampai Marauke, itu tanah negara. Permasalahannya, siapa yang menempati," tanyanya saat hearing.
Selain perwakilan warga, pihak Lantamal V AL, dan Dinas Cipta Karya Pemkot Surabaya, juga turut dihadirkan sejarahwan muda Kota Surabaya, Adi Setiawan. Dihadirkannya Adi sebagai sejarahwan untuk dapat menjelaskan historis.
Menurut Adi, pada tahun 1678 di abad ke 17 lokasi pangkalan angkatan laut tidak berada di daerah Bulak Banteng Bandarejo Surabaya, namun, berada di Jembatan Merah. Dan, Bandarejo sendiri masih bernama Bandararjan di tahun 1787, yang mana letaknya di Kali Pagirikan.
Sedangkan, baru pada tahun 1940 masih baru ada rencana pelebaran pangkalan militer Angkatan Laut di kampung yang kini bernama Bulak Banteng Banjarejo. Itu pun, menurut Adi dari Pemerintahan Hindia Belanda belum menyetujui rencana tersebut.
"Abad 19, tahun 1825 pangkalan laut berada di pegirikan. Tahun 1900 Bandarejo, tahun 1930 belum ada pangkalan militer. Tahun 1940 baru ada rencana pelebaran pangkalan militer AL, hingga desa Bandarejo terdampak. Dan, itu diajukan ke pemerintahan hindia belanda. Rencana itu belum disetujui oleh pemerintahan Bandarejo," jelas sejarahwan muda tersebut.
Lebih lanjut, pria asal Surabaya itu menyebut, pada tahun 1954, baru ada konflik antara Angkatan Laut dengan warga Bandarejo terkait dengan perluasan pangkalan angkatan laut. "Pada tahun 1954, baru ada konflik antara Angkatan Laut dengan warga Bandarejo terkait dengan perluasan pangkalan angkatan laut," lanjutnya.
Sementara, Ketua Komisi A, Herlina Harsono mengatakan, bahwa Bulak Banteng Bandarejo itu tercatatnya di Kementrian Keuangan. Untuk itu, lanjutnya yang bisa memutuskan perkara konflik lahan antara warga Bulak Banteng Bandarejo Surabaya dan Angkatan Laut adalah Kementrian Keuangan.
Politisi Demokrat itupun menanyakan pada perwakilan masyarakat Banderejo, apakah sudah menemui Kementrian Keuangan? "Yang bisa memutuskan ini ya, dari kementerian keuangan. Apakah sudah bertemu dengan kementrian keuangan," ujar Herlina.
Seperti yang diketahui, persoalan konflik lahan antara warga Bandarejo dengan Angkatan Laut bermula saat warga yang menempati lahan itu harus relokasi karena lahan tersebut pertahanan militer. Namun, pada tahun 1954 warga Bandarejo gagal direlokasi hingga saat ini.
Dan, kini TNI AL perlahan membatasi perkembangan kampung Bandarejo. Kurang lebih di Kelurahan tersebut ada 200 KK.
Sedangkan, Totok dari Lantamal V TNI AL, tetap percaya diri, menurutnya pihaknya tetap berdasarkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah, bahwa rumah warga yang berdiri di atas lahan Bandarejo tersebut merupakan daerah pertahanan. Meski demikian, pihaknya tidak serta merta merelokasi. Misal, kalau diajukan dipengadilan kemudian yang kalah adalah AL, tetap nanti dari kementerian keuangan akan memberi ganti rugi, begitupun sebaliknya.
"Kalau warga Bulak Bandarejo yang kalah dipersidangan, tidak serta merta dilakukan penggusuran. Tetap warga akan kami direlokasi," ucap Totok.
Totok juga menjelaskan, bahwa lahan yang ditempati warga, semenjak penjajahan Jepang, merupakan daerah terdampak bom. "Karena, tempat itu di zaman Jepang terkena dampak bom. Sehingga, hingga kini menjadi tanah pertahanan," pungkasnya. (Qin)