Potretkota.com - Tidak kurang dari 50 orang wartawan di Surabaya menggelar aksi solidaritas, mengkritisi tindak kekerasan oleh polisi terhadap wartawan di Makassar yang tengah melakukan tugas jurnalistiknya, saat meliput aksi demo mahasiswa yang menyuarakan penolakan UU KPK dan R-KUHP serta lainnya yang dinilai merugikan masyarakat.
Beredar di video, jurnalis itu mendapat perlakuan kasar, meski sudah mengatakan kalau dirinya wartawan.
Solidaritas yang disuarakan, wartawan dari berbagai media di Surabaya itu dibarengi dengan membentangkan poster berisi tulisan kecaman dan kalimat lucu juga bernada kritis. Meski tidak menimbulkan kemacetan, aksi damai di Jalan Gubernur Suryo itu sempat menyita perhatian pengguna jalan. Dengan bergantian sejumlah pekerja media itu meneriakkan orasi, mengecam kekerasan yang masih saja terjadi menimpa jurnalis.
Tudji koordinator aksi Aliansi Wartawan Surabaya (AWS) mengaku, kerja jurnalis dilindungi UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Kami mengkritisi tindakan aparat kepolisian yang melakukan tindak kekerasan terhadap wartawan yang tengah melakukan tugas liputan. Itu seharusnya tidak boleh terjadi, karena wartawan saat melakukan tugasnya dilengkapi dengan id card, yang jelas kelihatan dikalungkan di leher. Dengan aksi solidaritas ini, kami mengingatkan peristiwa itu tidak boleh terjadi lagi, apalagi di Surabaya dan wilayah Jatim lainnya," tegasnya, di depan Gedung Grahadi Surabaya, Rabu (25/9/2019)..
Ditempat yang sama, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Surabaya Lukman Rozaq meminta agar Jenderal Polisi Tito Karnavian menangkap oknum pelaku kekerasan kepada jurnalis. "Saya sangat menyesalkan tindakan represif aparat kepolisian yang melakukan kekerasan terhadap sejumlah wartawan saat meliput aksi demo di sejumlah daerah," tandasnya.
Selain soal kekerasan yang menimpa jurnalis, wartawan di Surabaya itu juga melontarkan kritik terhadap DPR RI yang sangat berhasrat meloloskan R-KUHP dan UU KPK. Wartawan menilai, jika R-KUHP diterapkan selain mengancam kebebasan pers. Pekerja media juga akan dengan gampang disanksi, ditangkap dan dipidana akibat tulisannya.
Terpisah, Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia Surabaya (AJIS) Syarif Abdullah mengaku, saat ada intimidasi ataupun mendapat kekerasan saat peliputan, rekan seprofesi harus peduli. "Gak peduli aliansimu jenenge opo. Gak peduli grupmu jenenge opo. Gak ngurus komunitasmu arane opo. Wayahe gerak rek!!" tambahnya. (*/Tj/Ms)