Potretkota.com - Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Ir. Daniel M. Rosyid, Ph.D. menanggapi soal Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL).
Menurutnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) layak secara ekonomi dan sosial. “Saya melakukan kajian bersama HAPPI Jatim atas permintaan PT Granting Jaya sebagai pelaksana. Saya tidak mengajukan diri sebagai konsultan. Tapi diminta membantu melakukan mapping lingkungan sosial lalu merumuskan rencana pengelolaan lingjungan sosial itu agar PSN SWL membawa lebih banyak manfaat bagi warga Surabaya dan nasional daripada mudharatnya,” kata Prof Daniel Rosyid kepada Potretkota.com, Sabtu (11/1/2025).
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Pastikan Tak Perpanjang SHGB di Laut Sidoarjo
"Bagian dari kajian itu adalah metodologinya yaitu dialog publik dan perencanaan kelompok penta helix, diantaranya masyarakat, pengusaha, pemerintah, akademisi, dan media sebagai proses-proses bottom-up untuk mengimbangi PSN yang teknokratik dan top down," tambahnya.
Pria kelahiran Klaten Juli 1961 ini menyebut, dampak ekonomi akan menurun hingga 14 persen yang disampaikan para penolak reklamasi itu bukan buatan ITS secara langsung.
“Itu setahu saya hasil dari sebuah tesis tahun 2019 lalu, bukan kajian khusus. Dan bahasa asumsi banyak, yang mengerjakan teman saya, dosen teknik kelautan Profesor Mahmud Mustain dan mahasiswa. Namanya total economic value, manfaat dan resiko dihitung berapa, terus dikurangi dan ditambahkan” ujarnya.
Prof Daniel Rosyid mengaku, untuk Surabaya Waterfront Land desain sudah beberapa kali berubah. “Itu nanti jarak pulau dari sebelah timur mangrove, kira-kira 300 sampai 400 meter. Jadi mangrove tidak diotak-atik, tidak ada penggusuran orang dan akses nelayan ke laut tidak akan hilang,” bebernya, perubahan desain karena kajian.
Baca Juga: Pemukulan Warnai Sosialisasi Amdal Surabaya Waterfront Land
Dijelaskan Prof Daniel Rosyid, tepi laut Kota Surabaya sudah mulai mengalami pendangkalan. “Kalau dulu nelayan itu mungkin jalan 100 meter, sekarang jalan satu setengah kiloan, bahkan lebih. Karena itu sedimentasi yang terjadi bertahun tahun,” imbuhnya.
Karena pendangkalan, nelayan disebut Prof Daniel Rosyid banyak yang menangkap kerang bukan ikan. Terlebih jumlah nelayan saat ini sekitar 1500an. “Sebagian masih bertahan mencari kerang dan seterusnya. Nafkah dari laut bagi nelayan Pantura pada umumnya tidak bisa diandalkan lagi, pertama karena laut Jawa sudah tangkap lebih, artinya ikan sudah tidak ada. Sudah diambil banyak, namanya overfish. Jadi andalan meraka bukan itu lagi,” urainya.
Bapak 8 anak ini sangat mengetahui jika Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land (SWL) banyak penolakan dari berbebagai kalangan. Ia menilai wajar saja ada kekhawatiran dari pada nelayan dan itu harus diperhatikan tidak boleh diabaikan.
Baca Juga: Menyoal PSN SWL, IMM Surabaya Mengadu ke Kommas HAM
“PSN ini untuk kepentingan siapa? Ini kepentingan nasional. Tapi apakah ada kerugian dipihak nelayan terus diabaikan? Tidak, harus diperhitungkan dan dimitigasi. Makanya kita buat lokakarya untuk dikenali, baik nelayan, HNSI, tokoh agama, kami undang. Kekhawatiran mereka kita dengarkan dan kita nyatakan dalam study itu, kita sudah buat rencana bagaimana mengatasinya, itu sudah ada dalam perencanaan,” jelas Prof Daniel Rosyid.
Ia berharap, para penolak reklamasi Surabaya Waterfront Land bisa diajak bicara dan mencari solusi untuk kepentingan Proyek Strategis Nasional. “Selama ini kami tidak bisa bicara, mereka berusaha membubarkan acara yang kami buat, saya berharap mereka mau berdialog dan musyawarah,” pungkasnya.
Dalam secuil kajiannya, Prof Daniel Rosyid pernah menulis Surabaya Kota Maritim. Surabaya tidak pernah menjadi kota nelayan. Sejak lama, Surabaya adalah kota dagang. Kota dagang yang besar pasti kota maritim dengan pelabuhan yang penting dengan konektifitas yang tinggi. (Hyu)
Editor : Redaksi