Wacana Tarif Pajak PKL di Surabaya Menuai Protes

avatar potretkota.com

Potretkota.com - Mengacu UU No 28 Tahun 2009 dan Perda Surabaya No 4 Tahun 2011, Pedagang Kaki Lima (PKL) yang ada di Surabaya akan dikenakan pajak dan retribusi daerah. 

Rencana ini dikemukakan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD), Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, Yusron Sumartono saat acara ‘Sosialisasi Anti Korupsi Dalam Pengelolaan Pajak Daerah (Parkir, Hotel, dan Hiburan, Restoran)’ di Graha Sawunggaling, lantai 6 Kantor Pemkot Surabaya.

Baca Juga: Permohonan Perlindungan HKI di Jawa Timur Melonjak 50 Persen

Penerapan pajak 10% nantinya untuk PKL yang beromset Rp 15 juta perbulan. Menurut Yusron, reguasi ini tidak memandang fisik, termasuk Parkiran.

Mendapati hal tersebut, penjual kopi di Jalan Kaliasin Surabaya Agus Wibisono mengaku, wacana Pemkot Surabaya melakukan tarif pajak dan retribusi sangat mendzolimi para PKL. “Kita ketahui orang dagang itu omset naik turun. Iya jika dapat omset Rp 500 ribu, Kalau dapat Rp 300 ribu perhari? Sudah rugi, dan masih di kenakan pajak 10%,” katanya, Jumat (29/3/2019).

Pria yang saat ini aktif sebagai Sekretaris Relawan Prabowo-Sandi (#Pasti2019) wilayah Jawa Timur ini juga mencontohkan, penjual soto dengan asumsi potong 3 ekor ayam dan berbagai bumbunya, sudah merogoh kecek Rp 350 ribu. “Jika hari itu dapat omset Rp 500 ribu, terus dipotong 10%, maka pajaknya Rp 50 ribu. Secara hitungan matematika pedagang untung Rp 150 ribu. Untung itu dibagi sewa stan, bayar listrik, biaya kebersihan, dan biaya lainnya, pedagang untung berapa? Padahal, semua pembeli mintanya harga murah,” paparnya menyebut pedagang harusnya diberdayakan, bukan di perdaya.

Sementara, Agus Prastio Caleg DPRD Surabaya dari Partai Gerindra mengaku, restribusi hal yang wajar jika Pemkot Surabaya sudah melakukan penataan. “Pandangan saya, itu belum saatnya dikenakan pajak. Karena sektor PKL warung kopi adalah exit pool azaz tingginya kendala sosial,” akunya.

Senada disampaikan Agus Arifin Caleg DPRD Surabaya dari Perindo. “Rencana Pemkot Surabaya sangat memberatkan sekali bagi para pengusaha mikro maupun para wirausahawan yang berskala kecil,” ujarnya, karena PKL tidak memiiki mekanisme pembukuan yang jelas dalam pengelolaan bisnis rumahan ini. “Mereka tidak punya kasir, bagaimana cara ngitung uang keluar masuk,” imbuhnya.

Baca Juga: Khatib Jumat Dihimbau Sampaikan Pesan Pelestarian Lingkungan

Pun demikian dengan Purwanto Caleg DPRD Surabaya dari Partai Hanura. Menurutnya, wacana pajak 10% sudah menghantui PKL yang belum dapat binaan dari Pemkot Surabaya. “Harusnya dikaji dulu, jangan sampai pedagang ketakutan dengan wacana tersebut,” jelasnya.

Ditempat berbeda, Ketua Paguyupan PKL Cokelat, Muhammad Jazaini merasa keberatan dengan wacara tersebut. Menurutnya, omzet PKL naik turun, belum lagi kondisi alam dan kebutuhan pokok meningkat disaat-saat tertentu, seperti hari raya idul fitri, hari raya natal ataupun tahun baru. “Jadi para PKL harus mendapat dukungan dari Pemerintah, kalau dibebani pajak 10gaimana tambah susahnya pedagang?” pungkasnya.

DPRD Surabaya Pernah Tolak Pajak PKL

Baca Juga: Menteri ESDM Pastikan Harga LPG Normal Jelang Idul Fitri 2025

Perlu diketahui, tarif pajak 10% untuk PKL pernah ditolak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya tahun 2010 lalu, saat itu dipimpin oleh Wisnu Wardhana. Alasan penolakan, karena membuat susah dan membebani masyarakat menengah kebawah. “Wajar kalau restoran dibebani pajak, tapi tidak untuk PKL,” kata Wisnu Wardhana kepada wartawan.

Wisnu saat itu juga mengatakan, mekanisme pengenaan pajak terhadap PKL juga tidak mudah. ”Tugas kita justru membantu para PKL agar bisa mandiri dan mengembangkan usahanya," jelasnya.

Pengenaan pajak terhadap PKL disebut Walikota Surabaya Tri Rismaharini untuk mengedepankan asas keadilan. Jika restoran kena pajak maka PKL pun harus terkena pajak. (SA)

Editor : Redaksi

Berita Terbaru