Potretkota.com - Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021 berinisial AS ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). Tak sendiri, AS bersama pemilik lahan inisial HS, dijerat pidana pengadaan tanah untuk perluasan kampus tahun 2019–2020.
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim), Saiful Bahri Siregar, SH MH saat jumpa pers menjelaskan, pengadaan tanah perluasan kampus Politeknik Negeri Malang seluas 7.104 m² berada di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, tanpa melibatkan panitia pengadaan resmi.
Baca Juga: Mahasiswa STTAL Kembangkan Drone Tempur Canggih
“Harga tanah ditentukan sebesar Rp6 juta per meter persegi, atau senilai total Rp42,6 miliar, tanpa penilaian dari lembaga appraisal sebagaimana diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan,” jelas Siregar, Rabu (11/6/2025).
Dalam pemeriksaan, Kejaksaan menemukan bahwa proses negosiasi dilakukan langsung oleh AS dengan HS sejak lahan masih berstatus Petok D. Sertifikat Hak Milik (SHM) baru terbit pada 31 Oktober 2019, sementara uang muka sebesar Rp3,87 miliar telah dibayarkan oleh Polinema pada 30 Desember 2020, sebelum adanya akta jual beli dan surat kuasa penjualan dari para pemilik tanah.
Dokumen-dokumen seperti Surat Keputusan Direktur, berita acara, hingga akta jual beli diduga dibuat dengan tanggal mundur (backdate) untuk mencocokkan proses pembayaran yang sudah dilakukan sebelumnya.
Baca Juga: Ketua LPMK Rungkut Tengah Kecewa KKN Tematik UPN Jatim
Selain itu, pengadaan lahan tersebut juga tidak sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Malang, karena sebagian besar lahan berada di zona sempadan sungai dan ruang manfaat jalan, sehingga tidak layak untuk pembangunan kampus.
Sampai akhir tahun anggaran 2021, dana yang telah dibayarkan Polinema ke HS mencapai Rp22,6 miliar, namun hak atas tanah belum diperoleh dan belum tercatat sebagai aset negara. Sebagian dana bahkan dititipkan kepada notaris dan internal Polinema untuk pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), padahal menurut undang-undang, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dikecualikan dari kewajiban tersebut.
Baca Juga: KPK Akhirnya Periksa Gubernur Khofifah di Polda Jatim Soal Korupsi Dana Hibah
“Akibat perbuatan ini, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp22,6 miliar,” tambah Siregar.
Oleh karera itu, Kejati Jatim menjerat AS dan HS dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 dan/atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Hyu)
Editor : Redaksi